TAK hanya memiliki maha karya Candi
Borobudur, Magelang ternyata menjadi surga tersembunyi. Walau tak punya pantai
atau keindahan alam bawah laut, daerah yang berada di pusatnya Pulau Jawa ini kaya
akan panorama menakjubkan.
Dengan banyak gunung tinggi menjulang serta
pemandangan eksotis dengan iklim sedang, Magelang kini bertransformasi menjadi
destinasi wisata baru yang memesona.
Desa wisata seakan sudah menjamur sekarang.
Bahkan, tidak pernah sepi. Mulai dari kawasan Borobudur hingga lereng Gunung
Sumbing, puluhan desa wisata tersebar dengan mengandalkan kekayaan dan
keindahan sesuai ciri khas masing-masing.
Sebut saja panorama memesona, seperti gardu
pandang, top selfie, dan lain sebagainya. Di era digital seperti sekarang,
sajian gambar menakjubkan semacam ini bisa dengan mudah diabadikan dan
diunggah. Tak ayal, hal ini justru menyulutkan tantangan tersendiri orang lain
untuk turut serta mendatangi satu tempat ke tempat wisata lainnya.
Beberapa tempat yang menyajikan miniatur
sebuah kota atau pemandangan yang memanjakan mata ini muncul dan tersebar
begitu cepat. Dunia maya memudahkan seseorang untuk menyimpan sekaligus
memamerkan kepada khalayak. Kini, masyarakat tak selalu membanggakan lagi
berwisata di luar kota atau bahkan luar negeri. Karena di Magelang saja, banyak
tempat-tempat yang menyuguhkan pesona alam yang menakjubkan.
Saat itu, bulan Agustus masih berada di
awal tanggal. Pagi buta, sebelum Subuh, kami mencoba datang ke tempat-tempat
yang konon menjadi surganya "pemburu sunrise". Kelihatannya juga
cerah.
Pukul 05.30 WIB tiba di salah salah tempat
wisata anyaran. Namanya, Gardu Pandang Silancur (GPS). Letaknya berada di desa
paling ujung di Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang. Jaraknya sekitar 30
kilometer jika ditempuh dari Kota Magelang.
Saat perjalanan menuju GPS, ternyata
pemandangan tak lazim sudah tersaji. Sebut saja pepohonan di sisi kanan dan
kiri jalan yang seolah membentuk gapura raksasa. Dengan trek menanjak, justru
memperlihatkan pesona pemandangan ladang pertanian hijau. Ditambah akses menuju
kawasan itu bisa dikatakan sangat bagus.
Trek menanjak dan jalan yang berkelok
menjadi nikmat tersendiri bagi pengunjung yang akan mendatangi Desa Mangli,
desa terakhir di Lereng Gunung Sumbing ini.
Seolah terbayar perjalanan panjang dari
Kota Magelang menuju Desa Mangli. Begitu masuk gapura "selamat datang di
Desa Mangli" kami merasakan seperti mendapat gigitan serangga di sekujur
tubuh. Hawa dingin seakan menusuk tulang. Maklum saja, saat itu saya tidak
mengenakan jaket tebal dan kaos tangan. Ketika melihat di gawai kami,
terpampang termometer dengan suhu 10 derajat. Cukup dingin memang, karena desa
itu berada di atas 1.500 meter di atas permukaan laut (dpl).
Kami pun tiba di GPS setelah sebelumnya
mendapat postingan dari rekan-rekan yang lebih dulu datang ke tempat itu.
Begitu masuk ke lokasi, seorang wanita
sudah terlihat berada di loket tiket. Kemudian seorang pria sengaja menjemput
kami. Dia menempatkan kendaraan roda dua kami berada di tempat parkir. Benar
saja karena medan agak begitu sulit, terutama menaiki sepeda motor berkopling.
Akhirnya, satu per satu sepeda motor kami pun dibawanya ke lokasi parkir.
Dengan tarif parkir Rp2.000 dan Rp5.000
untuk tiket masuk, kami pun bergegas menuju menara gardu pandang yang tingginya
sekitar 10 meter dari tanah itu. Ada tiga tingkatan di menara GPS, dari
terbawah naik satu tangga di lantai dua, dan terakhir di puncaknya. Menurut
sang pemilik, Jarwo, dulunya gardu pandang ini sengaja dipasang atap dari ijuk.
Namun pengunjung meminta agar menurunkan atap ini, karena dirasa mengganggu
proses pemotretan, dan akhirnya ia pun mencopotnya.
Cukup luas saat itu, kami bertiga bisa
dengan leluasa mengambil beberapa sudut pandang, miniatur Dusun Dadapan, dan
Desa Kebonlegi yang berada tepat di bawahnya. Kemudian di sisi barat, raksasa
megah Gunung Sumbing juga terlihat sangat perkasa.
Seolah, rasa capai, dingin, dan hawa yang
tak biasa ini terbayar sudah. Di ufuk timur, muncul bola raksasa bewarna
keemasan dari sela Gunung Telomoyo dan Andong. Dialah yang disebut dengan
"golden sunrise".
Sayangnya, kami tak bisa merekamnya dengan
maksimal karena terbatasnya alat. Bahkan, kamera lensa kami yang sudah dibawa
pun mengembun. Akhirnya, kami hanya bisa mengabadikannya lewat kamera ponsel.
Namun, kekecewaan itu sejurus kemudian terlupa dengan rasa kekaguman eksotisme
yang luar biasa.
Kabut tebal yang menyerupai kapas menutup
wilayah Kota Magelang dan sekelilingnya. Suasana cerah justru terlihat di
puncak Merapi dan Merbabu. "Tak sia-sia," kata Ely, salah satu teman
kami.
Merasa puas, dan matahari agaknya sudah
mulai meninggi, kami memutuskan untuk berkelana ke arah utara. Ya, di Kecamatan
Windusari juga banyak yang mengatakan pemandangannya tak kalah memesona.
Jaraknya tidak terpaut jauh, sekitar 3
kilometer dari Dusun Dadapan, Desa Mangli, Kecamatan Kaliangkrik. Tibalah
beberapa menit kemudian ke Desa Wisata Delimas, Windusari. Rupanya, tak cuma
satu gardu pandang. Di tempat wisata yang dikelola masyarakat itu punya
belasan.